PART 1 tasbih, salib
PART 1 Ketika Salib Menemukan Tasbihnya
Sebelum
aku menceritakan kisah ini kepada kalian, aku ingin memberitahukan kepada
kalian terlebih dahulu. Jika kau tidak ingin bingung dan pusing karena berusaha
memahami ceritaku lebih baik kalian jangan membacanya. Jika kalian memaksa, ini
bukan kesalahanku. Kisah ini bermula dari cinta pertamaku, dimana dalam kisah
selanjutnya, kami takkan…
Baiklah akan kuawali kisahku, dimana sang salib menemukan
tasbihnya. Bermula saat aku pulang ke rumahku di Jawa Barat, seorang laki-laki
yang belum ku ketahui siapa dia, selalu lewat depan rumahku dan tersenyum
kepadaku. Aku tak tahu apa maksudnya tapi aku rasa dia cowok yang baik.
Aku penasaran siapa dia, aku belum pernah bertemu dengannya
selama ini, kliatannya dia juga bukan orang sini, tapi aku takut untuk
menanyakan semua itu. Hingga suatu ketika tanpa disengaja kami berpapasan dan
dia menyapaku.
“Hay, aku liat kamu bukan orang sini, boleh kenalan nggak,
namaku Raka, kamu ?”
Dengan wajah yang, ahh masa sih dia langsung berani mengenalkan
dirinya sementara aku hanya berdiri, terpaku dan seperti itulah, lalu aku
menjawab “Na..namaku De, aku liat kamu juga bukan orang sini.”
Aku kira dia akan malu saat memperkenlkan dirinya, ternyata.
Dia menceritakan panjang lebar tentang dirinya, dia pindah dari Yogyakarta ke
Jawa Barat karena ibunya, aku tak tahu mengapa yang jelas itu tidak penting
untukku. Dia juga seorang nasrani, dia memiliki adik cowok yang hanya
berselisih satu tahun darinya.
“Mmm Raka maaf, tapi apa tidak lebih baik kita berkenalan
tidak di tengah-tengah perempatan jalan.”
“Eh maaf, ayo aku antar kamu pulang.”
Di pertengahan jalan kami bertemu Jojo, dia adik Raka, dia
sopan lebih sopan dari kakaknya. Panjang lebar kami bercerita hingga tak
disangka aku sudah sampai rumah.
“Ayo masuk, ibuku sedang membuat kue dan es, kalian pasti
lapar dan haus, dari tadi cerita terus tanpa jeda.”
“Nggak usah, trimakasih, kamu kan lagi puasa aku nggak enak.”
“Nggak papa kok.”
“Nggak usah mba, eh mmm maksudku, sudahlah, sebetulnya aku
bingung mau memanggilmu mba atau De, aku rasa kakakku menyukaimu, kalau kau
suatu saat menikah dengan kakakku kau kan jadi lebih tua dari ku, tapi kalau
tidak, jelas saja aku lebih tua darimu, walaupun hanya satu tahun.”
“Hus Jojo, apa-apaan sih, eee De maafin Jojo ya”
Aku tersenyum dan berkata,” Iya gapapa, Jo kamu panggil aku
De aja ya, kan aku juga nggak manggil kamu sama Raka dengan panggilan mas”
Kami tertawa bersama.
9 hari berlalu setelah perkenalan kami, kami bertiga semakin
akrab, ibuku mulai mengenal mereka. Begitupun sebaliknya. Bisa di bilang hanya
dalam waktu 10 hari setelah aku mengenalnya, aku merasa nyaman di dekatnya. Hingga
akhirnya dia menyatakan cintanya kepadaku.
“Sebenarnya ada suatu hal yang ingin aku bicarakan padamu.”
“Apa”
“Aku tidak bisa mengartikan apa yang aku rasakan saat aku
berada di dekatmu, entah mengapa hanya dalam waktu 10 hari setelah aku
mengenalmu aku merasa nyaman, aku merasa ada suatu hal yang sedang menepaku,
aku rasa aku mencintaimu.”
“De, kemari ibu ingin berbicara denganmu.”
“Ya, ada apa bu.”
“Ibu tahu kau berpacaran dengan Raka, kau tahukan kalian
berbeda agama.”
Perasaanku mulai tidak enak, “Iya bu, lalu kenapa.”
“Ibu menghormati keputusanmu, jangan takut ibu tidak akan
menyuruh kalian untuk putus. Tapi kau sudah besar, kau tahu tasbih dan salib
takkan bersatu.”
“Ibu salah, tasbih dan salib pasti bisa bersatu, ibu lupa
dengan kakek dan nenek, buktinya kakek sang salib dapat bersatu dengan nenek
sang tasbih.”
“Apa kau lupa, dulu pernikahan kakek dan nenek menuai konflik
di antara dua keluarga.”
“Tapi akhirnya mereka bisa bersatu, SALAHKAH DIA YANG KE
GEREJA SEMENTARA AKU YANG KE MASJID BERSATU, SALAHKAH DIA YANG MENGTAKAN “PUJI
TUHAN” DAN AKU YANG MENGATAKAN “ALHAMDULLILLAH” SALING MENYAYANGI , SALAHKAH
DIA YANG BEKALUNG SALIB DAN AKU YANG BERPEGANG TASBIH SALING MENCINTAI, SALAHKAH
DIA YANG MELIPAT TANGANNYA DAN AKU YANG MENENGADAHKAN TANGANKU SAAT BERDOA
SALING MEMILIKI, salahkah bu bu?”
Ibu hanya menatapku dengan wajah prihatinnya, tanpa sepatah
katapun terucap darinya. Aku pergi menghampiri meja belajarku dan mulai membuka
buku. Ya walaupun aku sudah tidak bisa berfikir dengan jernih karena ibu tadi,
setidaknya aku sudah membuka bukuku untuk ulangan besok. Selama dua tahun lebih
kami hubungan kami berjalan lancar, meski tetap ada keraguan di hatiku karena
perkataan ibu. Ketakutan itupun mulai uncul, aku takut jika menintanya lebih
dalam lebih dalam dan lebih dalam lagi, aku takut aku tidak bisa melepaskannya
, merelakan dia pergi yang hal itu pasti akan terjadi karena iman kita sudah
bebera.
Tepat setelah aku berulang tahun, aku bertemu dengannya, aku
tak tahu mengapa dia bisa tau tempat tinggalku di mana aku menuntut ilmu. Dia datang
bersama keluarganya, katanya sih dia sedang mengunjungi bibinya, tapi mengapa
dia bisa tahu rumahku, ah sudahlah aku tidak mau memikirkannya, yang jelas
keputusanku hari ini harus tersampaikan. Aku tidak enak untuk mengatakannya,
dia sudah jauh-jauh atang tapi aku malah mengecewakannya, yang jelas aku tidak
enak karena aku masih mencintaiya. Tapi inilah keputusanku. Kami pergi berdua dan
aku mengtakan hal ini kepadanya.
“Mungkin ini bukan waktu yang tepat untukku membicarakan hal
ini, tapi… mmm kau tahukan iman kita sudah berbeda, aku takut jika aku tidak
bisa melepaskanmu kau tahu maksudku?”
“Ya, aku tahu, aku tahu dan aku sudah menerima konsekuensi
itu sejak awal, jangan takut aku tidak apa-apa, justru yang aku khawatirkan
saat ini adalah kamu. TUHAN MEMILIKI BUKU KEHIDUPAN UNTUK TIAP-TIAP ORANG, TIAP
TINTA YANG DI GORESKAN TUHAN PADA BUKU KEHIDUPAN KITA PASTI BERUJUNG
KEBAHAGIAAN, BEGITU PULA DENGAN KITA. TAPI GORESAN TINTA KITA TIDAK PADA BUKU YANG
SAMA. AKU HARAP KAU BAHAGIA DENGAN ORANG YANG DIGORESKAN PADA BUKUMU. KAU TAHU
AKU AKAN TETAP MEMILIKIMU, MESKIPUN BUKAN SEBAGAI PEWARIS JIWAKU TAPI SEBAGAI
SAHABATKU.” Lalu dia menjatuhkanku di pelukannya.
Bertahun tahun aku mencoban untuk melupakannya, meski tidak
semudah membalikkan telapak tangan, namun aku yakin aku bisa.
Aku mulai menginjak masa SMA, dan hatiku belum bisa berubah.
Hari pertamaku untuk sekolah, aku bertemu dengan seorang laki-laki, dia mirip
Raka tapi menyebalkan. Kami sering bertikai, berebut, saling mengolok-olok, dan
aku harap Raka ada di sampingku untuk membelaku, namun hal itu takkan terjadi.
Laki-laki itu bernama Rama…….
- Di -
special for S. Christian Rafa


0 komentar:
Posting Komentar