PART 2 tasbih, salib
PART 2
Antara Imamku atau Pendetaku
Aku mulai menginjak masa SMA, dan hatiku belum bisa berubah.
Hari pertamaku untuk sekolah, aku bertemu dengan seorang laki-laki, dia mirip
Raka tapi menyebalkan. Kami sering bertikai, berebut, saling mengolok-olok, dan
aku harap Raka ada di sampingku untuk membelaku, namun hal itu takkan terjadi.
Laki-laki itu bernama Rama.
Hari ini seperti biasa aku dengan rasa malasku dan rasa
sebalku dengan Rama berangkat sekolah. Aku tak tau mengapa Rama tiba tiba datang
menghampiriku, aku rasa ia akan memulai perang dunia kembali.
“De, de, de kok kamu diam aja sih, kalau di panggil jawab
dong.”
“Ngapain, penting ya jawab panggilanmu, paling juga kamu mau
mulai perang dunia lagi, ia kan.”
“Astaghfirullah, ih pikiranmu ke aku buruk terus, padahal
kan aku mau minta maaf, aku capek berantem terus.”
“Tumben nyadar.”
“De kamu marah ya, aku minta maaf.”
“Enggak kok aku nggak marah, aku udah biasa kalau kamu kaya
gitu, kamu kan emang masih kaya anak kecil.”
“De, ah.”
“Tu kan”
Lalu kami tertawa bersama. Setelah percakapa itu, kami
menjadi lebih akrab dan lebih baik. Bertahun tahun kami bersama dan akhirnya
bersahabat. Dan kalian tahu, ketika aku melihat Rama, seakan akan aku melihat
sosok Raka datang kembali dalam hidupku. Aku takut jika suatu saat aku
mencintainya, karena kami terbiasa bersama di mana kami tertawa, menangis
bahkan ketakutan. Dia tahu masa laluku, begitu juga aku yang mengetahui masa
lalunya. Kami semakin dekat, dekat dan dekat hingga kami seperti saudara. Namun
hatiku berkata lain, aku mencintainya.
“Apa aku bilang De.” Kata
Dy sahabatku, bisa di bilang kami seperti kembar, tetapi sebetunya orang
tua kami berbeda.
“Tapi Dy masa aku harus menjauh dari Rama di saat aku mulai
mencintainya, kau juga tahukan aku ingin menggantikan salibku yang hilang
dengan tasbih?”
“Iya De, aku tahu, tapi apa kau yakin dia mencintaimu?”
“Aku tak tahu, aku rasa tidak.”
“Jika tidak, mengapa tidak dari dulu kau menjauh darinya.”
“Tapi aku juga butuh sahabat.”
“Tapi De.”
“Dy, SEKERAS APAPUN BATU PASTI AKAN HANCUR DENGAN TETESAN
AIR YANG DI LAKUKAN TERUS MENERUS, AKU TAHU AKU BUKAN GADIS YANG KAYA, AKU BUKAN GADIS YANG
PINTAR, AKU BUKAN GADIS YANG TERKENAL, AKU BUKAN GADIS YANG CANTIK, TAPI DIA
BERIMAN Dy, DIA TAHU JIKA DIA MENCINTAIKU KARENA PARASKU, BAGAIMANA DIA
MENCINTAI TUHANNYA YANG TAK BERPARAS.”
“Iya De aku berharap apa yang kamu katakan itu benar dan
membuatmu bahagia, aku menyayangimu De.”
“Aku harap juga seperti itu, aku juga menyayangimu, *saudara
duplikatku* hahaha.”
“De.”
Aku mengenal Rama jauh lebih lama dari pada aku mengenal
Raka, maksudku aku jauh lebih sering bersama Rama dari pada dengan Raka. Tentu
saja selama 3 tahun kami satu kelas.
“De.”
“Iya kenapa Ram.”
“Jika kita berpisah setelah lulus nanti, kita tetap bisa
ketemu nggak ya.”
“Maksudnya?”
“Aku nggak mau kehilangan sahabatku, aku harap jika kita
berpisah saat kulih nanti, kita tetap ada kontak ya.”
“Mmmm, iya”
Sahabat katanya, sudah aku duga, *aku hanya sahabat*, yah
memang mungkin nasehat Dy ada benarnya juga, mungkin dia sama sepertiku dulu
YANG BISA MELIHAT TAPI DIBUTAKAN CINTA. Kalimat sahabat mungkin bisa lebih
tajam dari pada pisau untuk menusuk hati. Tapi, ah sudahlah aku juga terlanjur
mencintainya. SEANDAINYA SAJA AKU TAK BERTEMU DENGANNYA, SEANDAINYA SAJA RAKA
SEAGAMA DENGANKU, SEANDAINYA SAJA AKU TAK MENCINTAI RAMA, SEANDAINYA..,
SEANDAINYA.., DAN SEANDAINYA.. KATA YANG PALIN MENYEBALKAN DALAM HIDUP KARENA
HAL ITU SUDAH TERLANJUR DAN TAK BISA DIULANG ATAU BAHKAN YANG TAK MUNGKIN
TERJADI.
Akhirnya kami lulus sekolah. Rama meneruskan kuliah di UGM
sementara aku di ITB. Asal kalian tahu, di saat aku mencintai Rama, aku masih
di butakan cintaku dengan Raka, kami masih sering bertemu hingga sekarang,
karena Raka juga kuliah di ITB, tidak seperti Rama, hubungan kami seakan akan
hilang. Aku mencintai Rama tapi aku masih di butakan ole Raka. Lima tahun
kemudian aku pulang ke Solo bersama Raka. Sepanjang perjalanan aku hanya diam
dan berfikir.
“De, ada masalah.”
“Nggak kok nggak ada.”
“De, berapa lama sih kita sahabatan sehari, dua hari, enggak
kan.”
Lagi lagi kata sahabat muncul, kata yang paling menyakitkan.
“Kita sahabatan lebih dari tujuh tahun.”
“Ya, dan kau tahu kau tak pernah bisa membohongiku.”
“Kenapa?”
“Karena aku masih mencintaimu, melalui tatapan matamu aku
sudah tau apa yang sedang kamu rasakan, kau memikirkan Rama kan? Kau mencintainya.”
“Tapi..”
“Tapi kau juga masih mencintaiku, tidak usah khawatir aku
akan membantumu untuk melupakanku, dan berjuang untuk mendapatkannya, dengan
kau bahagia aku juga bahagia, aku juga berusaha untuk melakukan hal yang sama.”
“Kau tahu, andai kita tak berbeda.”
“Bukannya kita berbeda, tapi takdir yang menjadikannya
seolah olah kita berbeda.”
Aku tersenyum dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku bahagia
karena aku sempat memilikinya, bukannya sempat tapi memang aku memilikinya,
sahabat yang paling berharga dari pada sepeti penuh berlian.
Beberapa hari kemudian aku bertemu dengan Rama saat reuni sekolah.
Hal yang aku harapkan selama ini terjadi, aku tak menyangka Rama menyatakan
cintanya kepadaku, dia tidak memintaku untuk menjadi kekasihnya, tapi dia
memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya.
Mungkin ibuku benar tasbih takkan pernah bersatu dengan
salib, aku De telah menemukan pasangan tasbihku. Tapi mungkin juga salah,
tasbih dan salib pasti bisa bersatu, buktinya aku tetap bersama dengan Raka,
menjadi sahabat untuk selamanya.
Di
sini bukan aku, mereka, atau cintanya yang salah, yang dikatakan Raka benar,
takdirlah yang membuat kisahku seakan akan nampak salah. Tapi setiap tinta yang
di goreskan Tuhan pada buku kita akan selalu benar dan akan berakhir dengan
kebahagiaan.
-
Di -
special
for…(liat beberapa tahun kemudian :))


0 komentar:
Posting Komentar